Masa remaja adalah masa kita dituntut untuk dapat menemukan jati diri dan tujuan hidup. Pada masa ini, kita akan banyak dihadang oleh berbagai cobaan dan godaan. Beberapa ahli psikolog, misalnya G. S. Hall menyebut masa remaja sebagai “ Strum und Drang “
( masa topan badai ), sedangkan James E. Gardner menyebut masa remaja sebagai “ Masa Turbelence “ ( masa penuh gejolak ). Oleh karena itu, dalam menghadapai masa remaja sangat dibutuhkan pendidikan psikologi. Pendidikan psikologi ini juga sangat dibutuhkan untuk kita melangkah ke masa depan. Banyak remaja pada masa sekarang yang pendidikan psikologinya sangat minim bahkan sama sekali tidak ada. Hal ini tentu akan menyebabkan banyak remaja yang masih kesulitan dalam mencari jati dirinya, kurangnya pemahaman dalam menafsirkan diri sendiri, dan kurangnya rasa percaya diri sehingga banyak remaja mengambil keputusan yang salah.
Dalam hal mencari jati diri, masih banyak remaja yang mengalami kesulitan. “Siapa saya ? “ dan “ Apa tujuan hidup saya ? “ , itulah pertanyaan yang sering muncul dalam diri remaja. Ini sebetulnya pertanyaan yang wajar bagi setiap orang yang memasuki usia dewasa, karena pada masa ini mereka sudah seharusnya mulai mandiri, termasuk dalam hal identitas atau jati diri. Persolannya menjadi serius ketika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan baik dan terus berlaru-larut menggeluyuti pikiran mereka. Begitu seriusnya mereka dengan persoalan ini sehingga “Barangkali hanyalah pada masa remaja saja individu dapat menjadi ahli filsafat moral yang tersendiri.” Sayangnya, hanya segelintir remaja yang mungkin benar-benar lulus sebagai ”Ahli filsafat moral,” sementara sebagian besar lainnya justru semakin bingung dan tak peduli dengan apa pun yang ada di sekitarnya. Banyak yang gagal dalam menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang penting dan mendasar tadi. Kegagalan dalam mendefinisikan diri membuat remaja mengalami ’kebingungan peran’ (role confusion) saat mencari model peran yang akan diikuti. Model peran orang tua yang sebelumnya mereka idealkan semasa kecil kini mulai ingin mereka jauhi, terutama jika orang tua bermasalah. Remaja mulai melirik model-model peran dan identitas yang ada di luar keluarganya. Namun, mereka seringkali mengalami kebingungan karena ada begitu banyak pilihan peran dan nilai-nilai yang saling bertentangan satu sama lain, sementara mereka tidak memperoleh bimbingan yang mantap bagaimana seharusnya menentukan pilihan yang terbaik bagi diri mereka sendiri. Semua itu membawa remaja kepada kondisi yang sangat labil, rentan, dan mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Pada gilirannya, tidak sedikit remaja yang akhirnya terjerumus dalam berbagai persoalan serius.
Dalam hal menafsirkan diri sendiri, masih banyak remaja yang salah melakukannya, karena kurangnya pemahaman. Remaja sekarang banyak yang berprinsip kalau tidak merokok, tidak gaul atau takut dijauhi oleh teman-temannya. Padahal rokok adalah jalan untuk menuju narkoba, dan narkoba tidak jauh dari seks bebas. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka kekerasan serta konsumsi rokok dan obat-obatan terlarang di kalangan remaja Indonesia. Data tentang tawuran di Jakarta pada paruh pertama tahun 1999, sebagaimana diberitakan oleh Media Indonesia, memperlihatkan bahwa rata-rata dua anak tewas setiap bulannya karena perkelahian antar pelajar. Pada tahun yang sama, sebuah penelitian tentang narkoba menunjukkan bahwa paling tidak 60-80% murid SMP di seantero Yogya pernah mencicipi narkotika, sementara di wilayah-wilayah pemukiman setidaknya 10 anak baru gede (ABG) di tiap RT pernah merasakan narkotika. Angka ini juga cukup tinggi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bahkan narkotika dalam bentuk permen pernah beredar di Jakarta Timur dengan target konsumen anak-anak SD. Data ini juga hampir sebanding dengan tingginya angka seks bebas, seperti pada riset Majalah Gatra beberapa tahun lalu memperlihatkan bahwa 22 % remaja menganggap wajar cium bibir, dan 1,3 % menganggap wajar hubungan senggama. Angka ini memang relatif kecil, tetapi penelitian-penelitian lain menunjukkan angka yang lebih tinggi. Sebagai contoh, 10 % dari 600 pelajar SMU yang disurvey di Jawa Tengah mengaku sudah pernah melakukan hubungan intim.
Dalam hal mengambil keputusan, banyak remaja yang salah karena kurangnya rasa percaya diri dan keterburu-buruan. Sebenarnya masa remaja juga merupakan masa kita dituntut untuk dapat mengambil suatu keputusan. Suatu keputusan yang telah diambil tentu akan menghasilkan dampak positif maupun negatif. Untuk itulah, diperlukannya bimbingan orang tua dan orang-orang terdekat. Hal ini akan berguna bagi kita dalam memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Jika semua hal di atas sudah terpenuhi maka mudah-mudahan keputusan yang kita ambil akan mendatangkan dampak yang positif bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.
Dari semua uraian di atas jelaslah bahwa pendidikan psikologi sangat perlu bagi remaja. Selain untuk bekal dalam menghadapi masa remaja, pendidikan psikologi juga dapat membantu dalam menentukan masa depan .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar